Kamis, 05 Agustus 2010

SAG TKI YANG TERLUKA DI NEGERI JIRAN




Ilustrasi
Oleh Fazar Muhardi
Siang itu, sekitar pukul 12.00 WIB, 25 April 2010, di terminal Pelabuhan Dumai, Riau, seorang wanita bertubuh kurus dengan kening berkerut dan bekas luka yang terlihat di bagian pipi kirinya, turun dari kapal berbendera Malaysia.

Wanita itu berjalan dengan menenteng sebuah tas mini, sementara di pundaknya melekat tas dengan ukuran yang lumayan besar. Entah apa isi tas tersebut, wanita itu membungkuk dengan langkah kaki yang tertatih-tatih.

Baru sekitar 100 langkah menuju gerbang terminal pelabuhan, wanitu itu didatangi tiga pria yang menawarkan jasa angkut. Dengan nada lemas, wanita berbaju batik itu menolak tawaran pria itu.

Tidak lama setelah ketiga pria itu pergi, beberapa langkah saat keluar dari pintu gerbang terminal pelabuhan, ia kembali dikerumuni lima pria dewasa lainnya. Kali ini mereka menawarkan jasa tranportasi.

Entah setan apa yang merasuk di tubuh wanita berambut ikal mayang itu, ia mengeluarkan suara dengan nada keras, seakan meneriakkan kelima pria tersebut. Mendengar teriakan itu, spontan kelima pria itu pergi.

Terik mentari siang itu semakin menambah keletihannya. Sesekali, ia menempelkan lengan kirinya di kening untuk menyapu keringat yang mulai bercucuran hingga membasasi baju batik kusam yang dikenakannya.

Wanita itu bernama Mami, usianya 48 tahun, dan tinggal di Kecamatan Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara.

Sejak lima tahun lalu, dia bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga, untuk membiayai ketiga anaknya yang berada di kampung bersama sang nenek.

Mami menceritakan, kepergiannya ke Malaysia merupakan kemauannya sendiri, tanpa dorongan dari pihak keluarga, atau siapa pun. Hal itu hanya untuk menghidupi ketiga anaknya yang memerlukan biaya tinggi.

Sang suami yang mengidap kanker ganas, telah lama pergi meninggalkannya.

"Sejak itu, saya bingung mau kerja apa. Terus saya kepikiran ingin pergi ke Malaysia untuk jadi TKI," tuturnya.

Melalui perusahaan pengerah tenaga kerja di Kota Medan, suatu hari di tahun 2005, ia disalurkan ke seorang pengusaha batik di Kuala Langat, salah satu pusat keramaian yang berada di Kota Selangor, Malaysia.

Setibanya di sana, ia dipekerjakan sebagai bembantu rumah tangga, dengan tugas membidangi semua urusan keluarga pengusaha tersebut, mulai dari mencuci, memasak, mengasuh anak, sampai menjadi tukang kebun di taman yang luasnya empat kali lapangan badminton.

Naasnya, dari pekerjaan ekstranya itu, ia hanya mendapat upah 250 Ringgit atau sekitar Rp750 ribu setiap akhir bulan.

"Saya nggak tahu kalau bakal digaji segitu, karena janjinya saya ditempatkan di sana dengan gaji Rp3 juta setiap bulan," ujar Mami.

Tiga bulan setelah merasa tidak nyaman dengan upah yang tidak sebanding itu, Mami berniat untuk kembali ke Indonesia.

Ketika niat tersebut disampaikan ke sang majikan, ’pintu neraka’ semakin terasa membayangi Mami, karena sejak ucapan pamit itu disampaikan, Mami semakin menerima tekanan yang kian parah.

Gaji yang sebelumnya diterima setiap akhir bulan, sejak itu tidak lagi diterimanya. Setiap kelalaian, harus dibayar Mami dengan makian dan siksaan yang membuat memar sekujur tubuhnya.

Penyiksaan itu berlangsung selama lima tahun, sejak ia bekerja di sana. Perih dan derita itu hanya menyisakan trauma yang teramat dalam bagi Mami.

Kini ia hanya ingin melepas rindu dengan ketiga anaknya yang diperkirakan sudah kelas 3 SMA, kelas 1 SMP, dan si bungsu yang diperkirakannya juga sudah berusia 6 tahun.

"Bekas luka di pipi ini hanya bagian dari siksaan itu. Masih banyak luka yang tersisa di hati ini, karena selama lima tahun saya bekerja, tidak ada uang yang saya bawa untuk menghidupi ketiga anak saya," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar